Ibu
Ira namanya, seorang wanita tua yang selalu kita temui apabila kita lewat di
jalur teduh parkiran SR. Seorang perantau yang sejak mudanya sudah mengais
sedikit rezeki di ibukota Jawa Barat, Bandung. Ibu ira berasal dari Cilacap,
Jawa Tengah, lahir sekitar 70-an tahun yang lalu.
Memiliki
satu saudara yang tinggal bersama “bude”nya di Cilacap, Bu Ira memilih berusaha
sendiri dengan pergi merantau ke Kota Bandung, kota yang Beliau anggap sebagai
kota yang bisa menghidupi dirinya. Cilacap memang kota kelahirannya, tetapi
Beliau tidak ingin menyusahkan keluarga yang hidup di Cilacap, yang juga dengan
kondisi sangat kekurangan. Hal itulah satu-satunya alasan beliau bekerja
mandiri di Bandung.
Saat saya datang dengan
membawa makanan, ibu itu terlihat bahagia. Tampak senyum yang mengembang dari
bibirnya yang telah keriput. Awalnya saya canggung untuk bertanya-tanya kepada
beliau, tetapi keterbukaan beliau lah yang menjadikan saya merasa tidak canggung
lagi saat bertanya. Mungkin saja ibu itu memang jarang berkomunikasi dengan
orang lain, jadi saat saya ajak beliau berbincang beliau terlihat bahagia.
Ibu
Ira dikenal oleh sebagian besar mahasiswa ITB sebagai Ibu Kucing, memang karena
banyak sekali kucing yang selalu berada di dekatnya. Namun sebenarnya beliau
bukanlah seorang pengasuh kucing. Kucing-kucing itulah yang datang sendiri
kepada beliau, tak tahu mengapa.
Beliau
bekerja sebagai penyapu taman di depan Salman. Alhamdulillah, awalnya saya mengira
Bu Ira tidak bekerja. Pendapatan beliau sekitar Rp 300.000.- per bulannya.
Menurut beliau, uang sebesar itu masih cukup untuk beliau makan sehari-hari.
Saya berpikir, bagaimana caranya hidup di Bandung dengan uang sejumlah itu,
saya jadi sangat bersyukur dengan kondisi yang ada pada saya terutama.
Beliau
sehari-hari tinggal di parkir SR itu, ataupun kalau tidak berarti beliau
tinggal di Salman. Beliau sudah mencoba mencari rumah sewaan, tetapi dengan
kondisi pendapatan beliau, agaknya harapan itu beliau urungkan. Beliau mengadu,
beliau sebenarnya ingin sekali mempunyai tempat tinggal, “mau cari yang 100-150
ribu mas, tapi disini tidak ada, adanya ya yang 300. Kalau 300 saya mau makan
gimana”, begitulah kira-kira keluhan beliau. Jadi sampai sekarang status
tunawisma masih melekat pada beliau. Hawa dingin yang merasuk pada tubuh saya
juga menjadikan bahan pertanyaan. Sekali lagi beliau membuat saya bangga,
beliau selalu mencoba tegar akan keadaanya.
Jika
pagi beliau membeli nasi kuning, jika siang membeli nasi bungkus, terkadang ada
yang memberi makan, begitulah beliau. Pada suatu hari, beliau makan dengan
sayur kangkung dan toge, makanan itulah yang menjadikan reumatik beliau kambuh.
Obat reumatik yang sekarang sudah habis katanya menyembuhkan penyakitnya, entah
benar atau tidak, yang saya lihat ibu itu masih memegangi bagian lututnya. Yah sudah tua memang, makanan harus dijaga. namun,
beliau masih kuat berjalan, bahkan masih kuat bekerja. Hal ini semakin
menjadikan tamparan bagi saya, beliau seorang yang sangat kurang, selalu
bersyukur, dan selau berikhtiar.
Ya
Allah, masih banyak orang-orang yang bernasib sama dengan Bu Ira, dimana
pemerintah, dimana UUD 1945, katanya di pasal 34 ayat 1 “fakir miskin dan
anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara” mana? Ibu, malang sekali
nasibmu. Engkau pantas mengeluh akan keadaanmu, namun tak setiap saat kau
lakukan itu. mungkin masih banyak orang yang seperti Bu Ira diluar sana. Teruslah
berjuang ibu, semoga Allah selalu melindungmu, selalu memberikan engkau kesehatan.
Amin.
0 komentar:
Posting Komentar