Sabtu, 08 Desember 2012

Sebuah Refleksi, Sebuah Inspirasi Kisah Ibu Kucing di Parkiran SR


Ibu Ira namanya, seorang wanita tua yang selalu kita temui apabila kita lewat di jalur teduh parkiran SR. Seorang perantau yang sejak mudanya sudah mengais sedikit rezeki di ibukota Jawa Barat, Bandung. Ibu ira berasal dari Cilacap, Jawa Tengah, lahir sekitar 70-an tahun yang lalu.
Memiliki satu saudara yang tinggal bersama “bude”nya di Cilacap, Bu Ira memilih berusaha sendiri dengan pergi merantau ke Kota Bandung, kota yang Beliau anggap sebagai kota yang bisa menghidupi dirinya. Cilacap memang kota kelahirannya, tetapi Beliau tidak ingin menyusahkan keluarga yang hidup di Cilacap, yang juga dengan kondisi sangat kekurangan. Hal itulah satu-satunya alasan beliau bekerja mandiri di Bandung.
            Saat saya datang dengan membawa makanan, ibu itu terlihat bahagia. Tampak senyum yang mengembang dari bibirnya yang telah keriput. Awalnya saya canggung untuk bertanya-tanya kepada beliau, tetapi keterbukaan beliau lah yang menjadikan saya merasa tidak canggung lagi saat bertanya. Mungkin saja ibu itu memang jarang berkomunikasi dengan orang lain, jadi saat saya ajak beliau berbincang beliau terlihat bahagia.

Ibu Ira dikenal oleh sebagian besar mahasiswa ITB sebagai Ibu Kucing, memang karena banyak sekali kucing yang selalu berada di dekatnya. Namun sebenarnya beliau bukanlah seorang pengasuh kucing. Kucing-kucing itulah yang datang sendiri kepada beliau, tak tahu mengapa.
Beliau bekerja sebagai penyapu taman di depan Salman. Alhamdulillah, awalnya saya mengira Bu Ira tidak bekerja. Pendapatan beliau sekitar Rp 300.000.- per bulannya. Menurut beliau, uang sebesar itu masih cukup untuk beliau makan sehari-hari. Saya berpikir, bagaimana caranya hidup di Bandung dengan uang sejumlah itu, saya jadi sangat bersyukur dengan kondisi yang ada pada saya terutama.
Beliau sehari-hari tinggal di parkir SR itu, ataupun kalau tidak berarti beliau tinggal di Salman. Beliau sudah mencoba mencari rumah sewaan, tetapi dengan kondisi pendapatan beliau, agaknya harapan itu beliau urungkan. Beliau mengadu, beliau sebenarnya ingin sekali mempunyai tempat tinggal, “mau cari yang 100-150 ribu mas, tapi disini tidak ada, adanya ya yang 300. Kalau 300 saya mau makan gimana”, begitulah kira-kira keluhan beliau. Jadi sampai sekarang status tunawisma masih melekat pada beliau. Hawa dingin yang merasuk pada tubuh saya juga menjadikan bahan pertanyaan. Sekali lagi beliau membuat saya bangga, beliau selalu mencoba tegar akan keadaanya.
Jika pagi beliau membeli nasi kuning, jika siang membeli nasi bungkus, terkadang ada yang memberi makan, begitulah beliau. Pada suatu hari, beliau makan dengan sayur kangkung dan toge, makanan itulah yang menjadikan reumatik beliau kambuh. Obat reumatik yang sekarang sudah habis katanya menyembuhkan penyakitnya, entah benar atau tidak, yang saya lihat ibu itu masih memegangi bagian lututnya.  Yah sudah tua memang, makanan harus dijaga. namun, beliau masih kuat berjalan, bahkan masih kuat bekerja. Hal ini semakin menjadikan tamparan bagi saya, beliau seorang yang sangat kurang, selalu bersyukur, dan selau berikhtiar.
Ya Allah, masih banyak orang-orang yang bernasib sama dengan Bu Ira, dimana pemerintah, dimana UUD 1945, katanya di pasal 34 ayat 1 “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara” mana? Ibu, malang sekali nasibmu. Engkau pantas mengeluh akan keadaanmu, namun tak setiap saat kau lakukan itu. mungkin masih banyak orang yang seperti Bu Ira diluar sana. Teruslah berjuang ibu, semoga Allah selalu melindungmu, selalu memberikan engkau kesehatan. Amin. 

0 komentar:

Posting Komentar