Indonesia
adalah negeri yang kaya sumber daya alamnya. Flora, Fauna, dan energi dan
sumber daya mineral dan batubara menjadi bukti kayanya sumber daya alam negeri
ini. Kekayaan ini pula yang menjadikan sumber daya alam menjadi hal yang sangat
vital bagi bangsa ini, mulai dari pengelolaannya, hingga pengawasannya. Namun,
tak bisa kita pungkiri, kekayaan yang kita miliki belum sepenuhnya menjadikan
rakyat negara ini sejahtera. Bisa dikatakan kita sedang dijajah oleh bangsa
lain dalam hal sumber energi, termasuk mineral dan batubara.
Istilah konservasi yang penulis ambil di sini adalah
bagaimana barang tambang yang ada bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal
33 ayat 3 disebutkan bahwa seluruh kekayaan alam dimiliki oleh negara dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jelas sekali makna yang terdapat dalam UUD tersebut, rakyat
harus ikut merasakan manfaat dari kekayaan alam Indonesia. Namun, hal ini
bertolak belakang dengan apa yang terjadi sekarang ini, seperti yang penulis
telah jelaskan di paragraf satu.
Pertambangan
adalah salah satu penyumbang pendapatan negara baik dari penerimaan pajak
maupun penerimaan bukan pajak. Namun patut kita tinjau kembali apakah sektor
ini sudah maksimal memberikan pendapatannya ke negara? Penulis katakan belum.
Indonesia bisa lebih baik lagi memanfaatkan sumber daya alam ini untuk
kesejahteraan rakyat. Sebagai contoh pertambangan mineral, sumber pendapatan
sebagian besar perusahaan adalah dari ekspor bahan mentah. Sehingga hasil yang
didapat tidak semaksimal jika kita mengolah dan memurnikannya terlebih dahulu
sehingga nilai jualnya menjadi naik.
Hal
lain yang menjadikan minimnya pendapatan dari sektor pertambangan adalah
kebijakan yang bisa dibilang kurang meguntungkan negara ini. Hingga tahun 2009,
Indonesia mengaplikasikan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan yang tidak banyak memberi keuntungan pada negara. Bisa
dikatakan posisi negara sama dengan posisi perusahaan swasta. Jadi swasta
disini seperti merajalela menjarah kekayaan tambang Indonesia.
Masalah
ekspor bahan tambang juga tidak dibahas dalam UU No. 11 Tahun 1967, sehingga
hampir semua bahan mentah diekspor ke luar negeri. Pemerintah agaknya sadar, UU
no 11 Tahun 1967 sudah tidak relevan sehingga perlu dibuat UU yang lebih
relevan dan bisa lebih menyejahterakan rakyat. Akhirnya pada 12 Januari 2009
pemerintah mengesahkan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Beberapa hal berubah, termasuk posisi pemerintah yang bisa dikatakan
lebih tinggi daripada perusahaan swasta.
Pelarangan
ekspor bahan mentah (raw material) adalah salah satu amanat terbesar dari UU
No.4 Tahun 2009, dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010.
5 tahun sejak UU No.4 disahkan yaitu tepatnya pada 12 Januari 2014, pelarangan
ekspor bahan mentah akan diterapkan. Dalam jangka waktu 5 tahun itulah
diharapkan perusahaan akan membangun pabrik pengolahan atau smelter. Namun
fakta di lapangan, perusahaan justru meningkatkan produksinya secara
besar-besaran untuk di ekspor sebelum 12 Januari 2014. Tercatat dalam 3 tahun
setelah UU No.4 Tahun 2009 disahkan, ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800%,
bijih besi meningkat 700%, dan bijih bauksit meningkat 500%. Jadi terlihat
perusahaan seperti tidak menunjukan sikap yang kooperatif dalam menyikapi UU No
4 Tahun 2009.
Terbukti, konservasi ekonomi bahan tambang sampai sejauh ini
belum berhasil. Rakyat indonesia masih belum makmur dan sejahtera dengan
kekayaan alam berupa bahan tambang yang dimiliki oleh Indonesia. Kekayaan alam
Indonesia selama ini hanya dikuras asing. Lantas, maukah Indonesia berubah dan
mengelola baik secara hulu maupun secara hilir bahan tambangnya?
Jadi
1 tahun menjelang implementasi UU No.4 Tahun 2009, siapkah kita? Apakah akan
terlaksana? Pertanyaan ini patut kita jawab sesuai kondisi sekarang ini. Hal
terbesar yang menjadi masalah hingga saat ini adalah smelter atau pabrik
pengolahan dan pemurnian bahan mentah (raw material). Faktanya, untuk membangun
sebuah smelter paling sedikit memerlukan 1 Milyar USD, sebuah angka yang
fantastis. Beberapa perusahaan nyatanya sudah mulai membangun smelter, tetapi
beberapa perusahaan nyatanya malah menolak membangun smelter, dengan alasan
pemurnian dan pengolahan di dalam negeri tidak ekonomis.
Hingga
saat ini, hanya ada sedikit smelter yang benar-benar siap untuk memurnikan
mineral. Sedangkan, pembangunan smelter baru pastilah perlu waktu lama.
Padahal, 2014 tinggal menghitung bulan, dimana 12 januari 2014 adalah batas
ekspor mineral mental ke luar negeri. Lantas, apa yang akan terjadi bila pada
12 Januari 2014 smelter di perusahaan-perusahaan belum beroperasi?
Larangan
ekspor bahan mentah, sebagai konsekuensi pelaksanaan UU No. 4 tahun 2009
mungkin akan menimbulkan efek domino baik bagi perusahaan maupun pemerintah.
Produksi mungkin saja terhenti karena bahan yang telah ditambang mangkrak di
dalam negeri. Atau mungkin pemerintah
akan mencari jalan keluar agar tidak ada yang dirugikan satu sama lain.
Disinilah ketegasan pemerintah akan diuji, bagaimana pemerintah benar-benar
menerapkan aturan yang berlaku di negara ini.
Peningkatan kemakmuran dapat dicapai jika terjadi peningkatan kegiatan ekonomi di
sepanjang rantai produksi mineral. Oleh karena itu pengendalian ekspor bahan
mentah sebenarnya hanyalah salah satu sisi kebijakan, dimana sisi kebijakan
lainnya adalah upaya mendorong peningkatan pada rantai produksi domestik berupa
kewajiban pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral. Peningkatan
rantai produksi domestik pada gilirannya akan memberikan dampak positif bagi
perekonomian dalam bentuk penciptaan output, nilai tambah dan kesempatan kerja
domestik, ketersediaan bahan baku industri hilir berbasis logam domestik,
serta penguasaan teknologi dalam pengolahan mineral.
Dalam jangka menengah hingga jangka panjang dampak dari
kebijakan pengendalian ekspor bahan mentah minerba sangat bergantung dari
penyiapan rantai hilirnya. Tanpa penyiapan industri hilir maka akan muncul
dampak negatif sebagaimana dampak negatif yang muncul dalam jangka pendek. Akan
tetapi jika industri hilir berhasil dibangun maka kebijakan pengendalian ekspor
bahan mentah minerba akan mampu memperpanjang rantai nilai domestik sehingga
berdampak positif bagi perekonomian. Jadi, pilih mana Indonesia?
tag : #SMBootcamp, Newmont Nusa Tenggara