Senin, 10 Maret 2014

Konservasi Ekonomi Bahan Tambang: Amanat UU No. 4 Tahun 2009

Indonesia adalah negeri yang kaya sumber daya alamnya. Flora, Fauna, dan energi dan sumber daya mineral dan batubara menjadi bukti kayanya sumber daya alam negeri ini. Kekayaan ini pula yang menjadikan sumber daya alam menjadi hal yang sangat vital bagi bangsa ini, mulai dari pengelolaannya, hingga pengawasannya. Namun, tak bisa kita pungkiri, kekayaan yang kita miliki belum sepenuhnya menjadikan rakyat negara ini sejahtera. Bisa dikatakan kita sedang dijajah oleh bangsa lain dalam hal sumber energi, termasuk mineral dan batubara.
Istilah konservasi yang penulis ambil di sini adalah bagaimana barang tambang yang ada bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa seluruh kekayaan alam dimiliki oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jelas sekali makna yang terdapat dalam UUD tersebut, rakyat harus ikut merasakan manfaat dari kekayaan alam Indonesia. Namun, hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi sekarang ini, seperti yang penulis telah jelaskan di paragraf satu.
Pertambangan adalah salah satu penyumbang pendapatan negara baik dari penerimaan pajak maupun penerimaan bukan pajak. Namun patut kita tinjau kembali apakah sektor ini sudah maksimal memberikan pendapatannya ke negara? Penulis katakan belum. Indonesia bisa lebih baik lagi memanfaatkan sumber daya alam ini untuk kesejahteraan rakyat. Sebagai contoh pertambangan mineral, sumber pendapatan sebagian besar perusahaan adalah dari ekspor bahan mentah. Sehingga hasil yang didapat tidak semaksimal jika kita mengolah dan memurnikannya terlebih dahulu sehingga nilai jualnya menjadi naik.
Hal lain yang menjadikan minimnya pendapatan dari sektor pertambangan adalah kebijakan yang bisa dibilang kurang meguntungkan negara ini. Hingga tahun 2009, Indonesia mengaplikasikan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang tidak banyak memberi keuntungan pada negara. Bisa dikatakan posisi negara sama dengan posisi perusahaan swasta. Jadi swasta disini seperti merajalela menjarah kekayaan tambang Indonesia.
Masalah ekspor bahan tambang juga tidak dibahas dalam UU No. 11 Tahun 1967, sehingga hampir semua bahan mentah diekspor ke luar negeri. Pemerintah agaknya sadar, UU no 11 Tahun 1967 sudah tidak relevan sehingga perlu dibuat UU yang lebih relevan dan bisa lebih menyejahterakan rakyat. Akhirnya pada 12 Januari 2009 pemerintah mengesahkan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Beberapa hal berubah, termasuk posisi pemerintah yang bisa dikatakan lebih tinggi daripada perusahaan swasta.
Pelarangan ekspor bahan mentah (raw material) adalah salah satu amanat terbesar dari UU No.4 Tahun 2009, dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010. 5 tahun sejak UU No.4 disahkan yaitu tepatnya pada 12 Januari 2014, pelarangan ekspor bahan mentah akan diterapkan. Dalam jangka waktu 5 tahun itulah diharapkan perusahaan akan membangun pabrik pengolahan atau smelter. Namun fakta di lapangan, perusahaan justru meningkatkan produksinya secara besar-besaran untuk di ekspor sebelum 12 Januari 2014. Tercatat dalam 3 tahun setelah UU No.4 Tahun 2009 disahkan, ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800%, bijih besi meningkat 700%, dan bijih bauksit meningkat 500%. Jadi terlihat perusahaan seperti tidak menunjukan sikap yang kooperatif dalam menyikapi UU No 4 Tahun 2009.
Terbukti, konservasi ekonomi bahan tambang sampai sejauh ini belum berhasil. Rakyat indonesia masih belum makmur dan sejahtera dengan kekayaan alam berupa bahan tambang yang dimiliki oleh Indonesia. Kekayaan alam Indonesia selama ini hanya dikuras asing. Lantas, maukah Indonesia berubah dan mengelola baik secara hulu maupun secara hilir bahan tambangnya?
Jadi 1 tahun menjelang implementasi UU No.4 Tahun 2009, siapkah kita? Apakah akan terlaksana? Pertanyaan ini patut kita jawab sesuai kondisi sekarang ini. Hal terbesar yang menjadi masalah hingga saat ini adalah smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian bahan mentah (raw material). Faktanya, untuk membangun sebuah smelter paling sedikit memerlukan 1 Milyar USD, sebuah angka yang fantastis. Beberapa perusahaan nyatanya sudah mulai membangun smelter, tetapi beberapa perusahaan nyatanya malah menolak membangun smelter, dengan alasan pemurnian dan pengolahan di dalam negeri tidak ekonomis.
Hingga saat ini, hanya ada sedikit smelter yang benar-benar siap untuk memurnikan mineral. Sedangkan, pembangunan smelter baru pastilah perlu waktu lama. Padahal, 2014 tinggal menghitung bulan, dimana 12 januari 2014 adalah batas ekspor mineral mental ke luar negeri. Lantas, apa yang akan terjadi bila pada 12 Januari 2014 smelter di perusahaan-perusahaan belum beroperasi?
Larangan ekspor bahan mentah, sebagai konsekuensi pelaksanaan UU No. 4 tahun 2009 mungkin akan menimbulkan efek domino baik bagi perusahaan maupun pemerintah. Produksi mungkin saja terhenti karena bahan yang telah ditambang mangkrak di dalam negeri.  Atau mungkin pemerintah akan mencari jalan keluar agar tidak ada yang dirugikan satu sama lain. Disinilah ketegasan pemerintah akan diuji, bagaimana pemerintah benar-benar menerapkan aturan yang berlaku di negara ini.
Peningkatan kemakmuran dapat dicapai  jika terjadi peningkatan kegiatan ekonomi di sepanjang rantai produksi mineral. Oleh karena itu pengendalian ekspor bahan mentah sebenarnya hanyalah salah satu sisi kebijakan, dimana sisi kebijakan lainnya adalah upaya mendorong peningkatan pada rantai produksi domestik berupa kewajiban pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral. Peningkatan rantai produksi domestik pada gilirannya akan memberikan dampak positif bagi perekonomian dalam bentuk penciptaan output, nilai tambah dan kesempatan kerja domestik, ketersediaan bahan baku industri hilir berbasis logam domestik, serta  penguasaan  teknologi dalam pengolahan mineral.
Dalam jangka menengah hingga jangka panjang dampak dari kebijakan pengendalian ekspor bahan mentah minerba sangat bergantung dari penyiapan rantai hilirnya. Tanpa penyiapan industri hilir maka akan muncul dampak negatif sebagaimana dampak negatif yang muncul dalam jangka pendek. Akan tetapi jika industri hilir berhasil dibangun maka kebijakan pengendalian ekspor bahan mentah minerba akan mampu memperpanjang rantai nilai domestik sehingga berdampak positif bagi perekonomian. Jadi, pilih mana Indonesia?

tag : #SMBootcamp, Newmont Nusa Tenggara

0 komentar:

Posting Komentar